Organik dan Citarasa Kopi Indonesia

Menjamurnya banyak kedai kopi di Indonesia beberapa tahun terakhir tidak bisa dilepaskan dengan kemunculan citarasa baru pada kopi yang ikut dikenalkan. Citarasa yang dimaksud adalah citarasa dari kopi dengan yang diseduh dari biji kopi dengan grade minimal cacat dan pengolahan khusus atas sangrai dan penyeduhan. Memang tidak semua kedai kopi mampu tampil dengan kopi kelas ini, namun kecenderungan ke sana semakin menguat.
Rasa tidak bisa bohong! Tanpa cacat biji (no defect bean) dan proses fermentasi nir jamur hingga teknik sangrai yang tepat, akan menghasilkan hasil seduhan yang lebih enak, nyaman, manis, dan tanpa citasa menyengat ataupun pahit arang.
Sebenarnya ini adalah kembalinya jaman kopi enak abad 18 dulu. Ingat jagad perkopian dunia sempat tersentak, tatkala kopi dari Indonesia pada tahun 1711 menjadi pamuncak dalam lelang di Amsterdam Belanda. Setelah itu jutaan cangkir-cangkir kopi Jawa disesap penggemar kopi di dunia dan tertorehlah nama Cup of Java yang melegenda hingga hari ini.
Sayangnya di tanah air, saat terjadi industrialisasi kopi seduh cepat (masif) secara besar-besaran warisan citarasa enak abad 18 itu lenyap. Hadirnya kopi dalam kemasan sachet dan instan tidak saja membuat citarasa kopi secara nasional turun (down grade), tetapi teknik pengolahan kopi yang benar juga menjadi ikut terbengkalai. Bukankah kopi komersial, tidak butuh citarasa otentik dan spesial. Karenanya pula biji kopi kelas asalan menjadi mainstream olah kopi.
Tidak banyak usaha perkebunan yang mengaplikasikan cara olah benar, tetapi itupun untuk pasar ekspor. Sebab di dalam negeri, kopi terlanjur di branding harga murah, bukan cita rasa yang kaya.
Bila kini mulai bermunculan kedai kopi dengan kebaruan cita rasa. Maka kita perlu memahaminya bahwa itu hanya bisa hadir bila proses yang benar juga ikut dihadirkan kembali, seperti teknik penanaman, pengolahan, sangrai, hingga penyeduhan untuk menghasilkan citarasa spesial, minimal tanpa cacat (clean cup).

Para pengunjung kopi saat ini sangat antusias untuk mencoba berbagai single origin kopi. Seperti nampak pada kegiatan free cupping yang diselenggarakan oleh Rumah Kopi Ranin setiap Sabtu di Bogor. (foto Iwan Setiawan)
Perbaikan citarasa kopi ini memang kerja bersama para petani, koperasi atau kelompok pengolahan, roaster, hingga kedai kopi. Ibarat sebuah konser musik, tiap musisi musti bermain dengan benar. Bila orkestrasi aktor dalam kopi berjalan dengan baik maka, muncul identitas kemanisan pada kopi dengan mengesankan. Konstruksi besar stigma citarasa pahit akan rontok.
Bila dulu para peminum kopi hanya bisa pasrah menerima jenis kopi apa yang akan diseduh di kedai kopi. Hari ini para peminum kopi sudah dapat memilih jenis kopi yang dia bayangkan sebelum datang ke kedai. Lalu terlibat obrolan yang intensif dengan para peracik kopi bahkan juru sangrai tentang berbagai elemen citarasa.
Dengan banyaknya lereng pegunungan yang bisa di tanami kopi di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Flores hingga Papua, penggemar kopipun mulai belajar membangun data base citarasa di dalam alam bawah sadar dan pikiran mereka. Bila mereka menyebut satu jenis single origin maka keinginan tersebut merepresentasi memori citarasa tertentu yang telah dia alami.
Contohnya, para jamaah kopi di Rumah Kopi Ranin mencandra citarasa kopi arabika Mandailing sebagai manis gula aren dan kopi robusta Cibolau Bogor memancarkan citarasa dark chocolate.
Bukan hanya soal asal usul saja, saat ini penggemar kopi juga sudah mulai menandai citarasa yang muncul dengan tiap jenis proses pengolahan yang berbeda. Pengolahan kopi dengan cara natural proses atau proses pengeringan alami misalnya disukai karena adanya citarasa asamnya muncul lebih elegan/ lembut.
Bermunculannya banyak festival kopi makin meningkatkan dinamika perkopian Indonesia. Termasuk proses belajar citarasa kopi yang bergerak dengan sangat cepat dan masif. Proses yang menggerakan semua pihak dalam perkopian, mulai dari peracik kopi, desainer kedai, petani kopi, termasuk juru sangrai atau Master Roasting.
Bahkan mereka yang sebelumnya tidak tertarik untuk mencicipi jenis minuman “hitam” ini, juga mulai tertarik ikut serta angkat cangkir. Mencoba!
Mereka mulai menyadari bahwa kopi hari ini tidak lagi musti hitam. Dan pahit tidak lagi menjadi citarasa yang menghegemoni. Pahit bisa dihadirkan dengan lebih santun dan tampil berdampingan dengan spektrum citarasa manis bebuahan dan dedaunan. Juru sangrai yang berkesenian citarasa biasanya mampu mengoptimasi Reaksi Maillard.
Bila pada masa lalu kenyamanan indera pencecap rasa kopi cukup dipuaskan dengan pemanis dari gula kristal, hari ini kopi itu sendiri yang menyatakan kemanisan (sweetness). Kemanisan kopi tentu saja berbeda dengan gula, tetapi spektrum kemanisan yang sering muncul pada buah-buahan. Konstruksi kopi pahit lalu dimaniskan dengan gula menjadi penyesalan para penggemar kopi citarasa baru.
Untuk menghadirkan citarasa kemanisan juru sangrai akan mengoptimalkan proses pengolahan dan sangrai atau roasting. Proses pengolahan kopi dengan cara natural atau dikenal dengan proses kering banyak dipraktekan untuk meningkatkan kemanisan. Adapun proses sangrai dilakukan dengan optimasi pada fase pelelehan berbagai jenis gula pereduksi atau karamelisasi.
Kopi Organik
Kesemua aspek tentang dinamika kopi dan masyarakat pencintanya berlangsung demikian masif dan menjamur di berbagai kota di Indonesia ini memiliki hubungan yang sangat erat tidak saja dengan para petani, tetapi juga dengan bagaimana cara petani merawat tanaman kopinya.
Dalam hal ini secara agronomis, kopi yang ditanam secara alami atau organik memegang peranan yang teramat krusial.
Secara agronomis, tanaman kopi arabika tidak memerlukan sinar matahari secara langsung. Karena itu maka diperlukan pokok pepohonan yang lebih besar dan tinggi untuk memberikan naungan. Produktivitas memang tidak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan model produksi ala sun coffee yang menjadi jargon pengembangan kopi tahun 80-an. Tetapi yang lebih menarik citarasa yang dihasilkan lebih baik. Bukankah kita tidak hendak minum kopi dalam satuan volume lebih banyak, tetapi untuk mencecep citarasanya.
Kesuburan lahan adalah syarat paling fundamental untuk mendapatkan citarasa kopi yang spesial. Lahan yang kurang subur misalnya sangat rendah persentase bahan organiknya, membuat pertumbuhan tanaman kopi tidak optimal, termasuk saat memasuki pembentukan bunga dan buah. Bila pembentukan buah terkendala, maka buah kopi (cherry) tidak berkembang sempurna, otomatis pembentukan protein dan gula-gula monosakarida tidak optimal. Padahal biji kopi sebenarnya adalah benih tanaman kopi yang berisi protein, yang bila terkena paparan panas saat sangrai menghasilkan citarasa dan aroma.

Tenaga terampil dan berpengetahuan memadai mengenai mutu biji serta citarasa dan aroma kopi kini terus tumbuh di Indonesia. Terlihat di foto adalah kursus untuk menjadi cupper yang diselenggarakan oleh Rumah Kopi Ranin di Bogor. (foto Bayu Lazuardi)
Berdasarkan komunikasi kami dengan Mahdi Usati dari Gayo Cupper Team di Aceh, sebuah perkumpulan penggiat kopi yang melakukan pendidikan citarasa kopi untuk petani, kopi yang ditanaman tanpa paparan pestisida kimia dan pupuk sintetis memiliki citarasa yang berbeda manakala ditanam dengan pupuk kimia dan disemprot pestisida. Menurut Mahdi, kopi yang ditanam secara ekologis atau alami memiliki citarasa yang lebih kompleks. Kompleksitas citarasa menjelaskan mengenai beberapa layer citarasa yang muncul dari seduhan kopi. Semakin kompleks citarasa kopi mengindikasikan, para juri kontes kopi biasanya akan memberikan nilai yang tinggi.
Menurut Uji Sapitu yang merupakan salah satu tester kopi Indonesia, kompleksitas pada kopi memberikan citarasa yang lebih berwarna pada penikmatnya atau tidak membosankan dan selalu ingin mencoba kembali. Menurut Uji, kopi yang mendapat score citarasa yang tinggi tentu saja akan mendapatkan harga yang lebih tinggi apalagi kopi yang menang kontes kopi. Karena itu terdapat relasi yang sangat erat antara penanaman kopi secara alami/ organik, pengolahan yang benar dan juga pendapatan bagi para petaninya.
Menyangkut kesuburan tanah di kebun kopi, model agroekologilah yang perlu diterapkan, yaitu membuat kondisi permukaan lahan senantiasa tertutup oleh mulsa alami dari biomasa reranting dan dedaunan. Sehingga kondisi tanah selalu memiliki bahan organik yang merupakan kunci bagi proses kesuburan, termasuk ideal untuk berperan menyimpan air hujan (water harvesting). Keberadaan bahan organik ini musti ada, dan sama sekali tidak bisa digantikan dengan pupuk sintetis apapun.
Konstruksi bahwa tanah subur karena dipupuk sintetis, ibarat konstruksi sesat bahwa citarasa kopi instan lebih enak dari kopi murni.
Memang, citarasa kopi tidak bisa dipungkiri hari ini merupakan produk dari sebuah konstruksi sosial-budaya, yaitu pendidikan yang dilakukan industri-industri besar yang membenamkan merk dengan membuat asosiasi tertentu pada kopi produksinya. Konstruksi tersebut bukan saja berlangsung selama 1-2 tahun, tetapi dalam rentang beberapa dekade tanpa menjelaskan jati diri citarasa dan aroma kopi.
Untuk membuat penikmat kopi bisa bertutur tentang citarasa atau menjadi subjek yang tidak hanya bisa menerima dari kopi yang dia seduh atau cecap memang bukan proses singkat. Tapi dengan dinamika kopi yang berlangsung saat ini tidak hanya melibatkan penikmat kopi, juru sangrai, barista, peneliti dan petani maka proses untuk mendapatkan citarasa kopi enak bisa berlangsung lebih cepat.
Kopi organik adalah kegelisahan berjamaah para penikmat kopi untuk untuk merasai citarasa yang merefleksikan ekosistem dan kemanusiaan.
(Penulis Tejo Pramono, co-founder dari Rumah Kopi Ranin. Tulisan ini diambil dari Majalah Organis yang diterbitkan oleh Aliansi Organis Indonesia AOI)
Fatal error: Uncaught Error: [] operator not supported for strings in /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/core/helpers/post.php:56 Stack trace: #0 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/partials/content-single.php(72): layers_post_meta(287) #1 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/template.php(564): require('/home/zrrnhhuq/...') #2 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/template.php(521): load_template('/home/zrrnhhuq/...', false) #3 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/general-template.php(171): locate_template(Array, true, false) #4 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/single.php(21): get_template_part('partials/conten...', 'single') #5 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/template-loader.php(89): include('/home/zrrnhhuq/...') #6 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-blog-header.php(16): require_once('/home/zrrnhhuq/...') #7 /home/zrrnhhuq/public_html/index.php(17): require('/home/zrrnhhuq/...') #8 {main} thrown in /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/core/helpers/post.php on line 56