Ndaru: Arsitek Sekolah Kopi Humbang Hasundutan

Ndaru Adi Pranoto, arsitek lansekap lulusan IPB di tahun 2017 ini, Jumat malam (11/08) lalu akhirnya dipilih oleh Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) menjadi salah satu dari 20 orang “Desainer Indonesia 2017”. Sebelumnya Ndaru mengirimkan desain lansekap arsitektur untuk konsep Sekolah Kopi Humbang Hasundutan kepada program ORBIT. Orbit adalah salah satu andalan dari BEKRAF untuk memajukan dunia desain kreatif Indonesia.
Setelah melalui proses kurasi dan penjurian yang melibatkan beberapa desainer dan arsitek terkemuka di tanah air, sejumlah 20 nama terpilih. Mereka berhak atas program peningkatan kapasitas desain seperti workshop di dalam dan luar negeri.
Kisah terpilihnya Ndaru menjadi Desainer Indonesia 2017 tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan pemuda kelahiran Kalibaru – Banyuwangi ini saat mulai bergabung dalam tim Rumah Kopi Ranin. Ceritanya kami mendapatkan mandat untuk menyusun konsep program sekolah kopi, termasuk penyusunan desain arsitekturnya. Tim mulai bekerja sejak akhir 2016 silam terdiri dari tiga orang, yaitu Tejo Pramono (aspek pengembangan petani), Uji Saptono (aspek kopi) dan Ndaru (aspek dokumentasi dan desain). Seluruh kegiatan ini adalah diinisiasi dan didanai melalui program corporate social responsibility (CSR) dari PT Toba Pulp Lestari untuk masyarakat di Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara.
Banyak cerita seru yang bisa kami bagi tentang proses penyusunan konsep sekolah, yang kemudian menjadi bahan penting dalam konsep desain arsitekturnya. Bersama Ndaru, tim Rumah Kopi Ranin, mengunjungi beberapa desa dan kebun kopi di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Kegelisahan sudah sangat terasa ketika tim pertama kali datang ke kecamatan Dolok Sanggul, yaitu saat kami mengalami betapa sangat sulitnya menjumpai warung kopi. Karena di Bogor kami sangat menyukai kopi Lintong, maka sejak turun dari pesawat kami sungguh ingin bisa ngopi di tempat dimana kopi Lintong berasal.
Sebuah kekecewaan yang sulit kami terima saat itu. Sampai ketika kami datang mengunjungi salah satu petani kopi dengan harapan bisa disuguhkan kopi produksi kebunnya. Sekali lagi di luar bayangan kami, justru teh dari sebuah merk industri yang kami dapatkan dari tuan rumah petani kopi.
Sedih tak bisa kami sembunyikan saat itu. Bagaimana mungkin para petani kopi ini justru tidak menunjukan kebanggaan atas kopi produksi kebunnya kepada kami, yang saat itu dari jauh datang menjadi tamunya.
Ingin sekali saat itu, kami menceritakan pada mereka fakta bahwa kopi dari Lintong Nihuta, Dolok Sanggul, Onan Ganjang, Paranginan adalah kopi yang menjadi rebutan roaster besar di Eropa dan Amerika.

Elemen rumah adat Batak dipakai oleh Ndaru sebagai pintu masuk sekolah, harapannya sekolah nanti tidak meninggalkan identitas Batak bahkan diharapkan makin kuat dalam proses pendidikan dan pelatihan kopi. Elemen atap rumah masyarakat yang umumnya menggunakan seng diambil oleh Ndaru agar masyarakat bisa merasakan bahwa Sekolah Kopi Humbang Hasundutan benar-benar mencerminkan keseharian mereka.
Kesedihan kami tersebut justru membuat tim semakin penasaran. Karena itu kami sering berlama-lama di pasar Dolok Sanggul ataupun Siborong Borong. Keduanya adalah pasar lokal terbesar tempat transaksi kopi paling besar terjadi. Kami ngobrol panjang dan bergurau dengan para inang pedagang kopi yang membeli kopi-kopi yang dibawa oleh ibu-ibu dari kampung. Diantara waktu lainnya kami juga asyik ngobrol dengan ibu-ibu petani yang baru turun dari desa di hari pasaran.
Kami melihat sendiri para petani telah menjual kopi saat kopi masih basah dengan kulit tanduk atau gabah masih menempel di biji. Harga kopi gabah tentu saja murah. Apalagi kondisinya masih basah. Tapi itulah yang umum dilakukan oleh para petani kopi. Dalam kondisi masih gabah, para petani tidak mengetahui kualitas sesungguhnya dari biji kopi produksinya. Mereka benar-benar cuma menjual barang yang masih sangat-sangat di awal dari proses pengolahan.
Penggalian tentang kopi di Humbang Hasundutan, membawa kami mengunjungi museum Batak di Balige. Kali ini untuk mencari jejak tentang citarasa dan kebudayaan pangan dalam adat masyarakat Batak. Di sana kami menemukan berbagai bentuk rumah batak, motif gorga, bentuk bornaspati yang merupakan cicak kembar di setiap rumah, juga beberapa perkakas pertanian yang umum dipakai oleh petani.
Tidak puas, kami mengunjungi Bapak Monang Naipospos, seorang budayawan Batak untuk menggali lebih jauh tentang konsepsi pangan dari masyarakat di kaldera terbesar di dunia, Danau Toba ini.
Semua proses direkam oleh Ndaru yang dalam perjalanan ini selalu menggenggam kamera di tangannya. Sebagian besar untuk merekam video dari proses kunjungan dan wawancara. Selebihnya mengabadikan foto-foto arsitektur vernakular di beberapa desa Kabupaten Humbang Hasundutan.
Dalam proses ini penyusunan ini kami akhirnya mendapati, betapa pentingnya bagi Kabupaten Humbang Hasundutan untuk memiliki sekolah kopi. Sejak semula kami sudah berpikir, karakter sekolahnya bukan sekolah kopi yang umumnya mengadopsi dari escuela del cafe di Amerika Latin atau coffee school di luar negeri. Sebaliknya kami ingin sekolah yang justru mengakar dari kebudayaan masyarakat, menggali kearifan kebudayaan pangan lokal, termasuk bisa berfungsi sebagai galeri bagi para petani kopi.
Kesimpulan kami saat itu akan sangat mengkhawatirkan bila kami justru secara mentah-mentah mengadopsi konsep sekolah dari luar negeri dan menanamkannya di Humbang Hasundutan. Justru kami menginginkan bahwa kebudayaan dari Batak itu sendiri yang harus digali dan kemudian ditampilkan. Dengan membuat sekolah kopi yang mengangkat kebudayaan lokal, maka sekolah kopi di Humbang Hasundutan bisa memberikan warna baru dalam dunia kopi di dunia.

Lokasi tempat sekolah kopi Humbang Hasundutan di Sipunsur adalah keinginan langsung dari Bapak Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor
Pada akhirnya kami sepakat bahwa sekolah kopi ini harus bisa menangkap visual langsung dari Danau Toba. Karena di sekeliling pinggang danau Toba terbentang sabuk panjang kebun dan pekarangan kopi masyarakat. Karena itulah kami mengusulkan lokasinya di Sipinsur, agar ketika menikmati kopi bisa terlihat langsung danau Toba dari atas dengan pinggirannya terdiri dari kebun-kebun kopi. Sekolah kopi tidak perlu dibangun dipinggir jalan raya, justru biar lebih istimewa di bnagun di tengah kebun kopi.
Lebih dari itu kami tidak membuat bangunan sekolah yang modern, bahkan sebaliknya mengangkat arsitektur lokal. Dalam hal ini Ndaru bersikukuh bahwa akses masuk harus dibuat menaiki tangga dan pintu masuk yang menunduk. Menurutnya menunduk adalah salah satu ciri budaya Batak yang perlu untuk kembali dilestarikan.
Kini proses sekolah memasuki tahap persiapan pembangunan fisik. Sementara proses pelatihan juga sudah dimulai. Harapannya saat sekolah nanti berdiri para pemuda desa di Humbang Hasundutan sudah bisa tampil untuk menyeduh kopi. Semoga kelak ketika sudah selesai dibangun bisa menjadi galeri kopi kebanggaan masyarakat.
Fatal error: Uncaught Error: [] operator not supported for strings in /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/core/helpers/post.php:56 Stack trace: #0 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/partials/content-single.php(72): layers_post_meta(692) #1 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/template.php(564): require('/home/zrrnhhuq/...') #2 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/template.php(521): load_template('/home/zrrnhhuq/...', false) #3 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/general-template.php(171): locate_template(Array, true, false) #4 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/single.php(21): get_template_part('partials/conten...', 'single') #5 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/template-loader.php(89): include('/home/zrrnhhuq/...') #6 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-blog-header.php(16): require_once('/home/zrrnhhuq/...') #7 /home/zrrnhhuq/public_html/index.php(17): require('/home/zrrnhhuq/...') #8 {main} thrown in /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/core/helpers/post.php on line 56