Bisnis Kopi, mengapa?

Tidak semua yang datang ke Rumah Kopi Ranin kami kenal. Tapi beberapa pengunjung punya jadwal khusus dan memilih meja kesukaan. Akhirnya kamipun menjadi lebih mudah mengenalnya.
Programer komputer satu ini namanya Albany. Datang ke Ranin paling pagi. Tepat setelah kedai buka. Tidak jarang, papan tanda buka belum di balik dia sudah memberdirikan standar motor hondanya. Dan menyapa dengan salam. Perawakannya kecil. Mukanya banyak senyum.
Tadi siang, Al tinggalkan laptop dan tasnya begitu saja untuk pergi Jumatan. Baru sebulan dia nampak demikian akrab dengan kedai kami. Dan setelah pulang Jumatan, dengan muka berkeringat dia berujar, “ Es kopi susu satu dong.”
“Sip. Ditunggu ya.” Jawabku sekenanya karena berkonsentrasi menekan aeropress untuk seorang pengunjung yang menginginkan es kopi.
Siang ini terasa sangat panas. Pasti sebentar lagi hujan. Biasa cuaca di Bogor. Mudah ditebak. Evaporasi air demikian cepat dirubah menjadi hujan kembali. Siklus hidrologi terpendek mungkin. Ada cerita soal hujan kota huhan ini waktu kuliah. Tapi aku sudah lupa. Anda tahu bagaimana detail ilmiahnya?
Sambil membersihkan meja, baru aku ingat akan pesanan kawan programer kita ini. Lupa aku membuatnya.
Setelah itu aku datangi dia ke mejanya, sambil membawa es kopi susu Vietnam Drip. “Maaf Bro. Lupa aku tadi.”
“Santai aja.” Mukanya tersenyum. Lipatan laptop sedikit ditutup. Agak bosen tebakku dalam hati.
“Bagaimana sih usaha itu?” Kali ini dia mengajaku ngomong serius mengetahui aku ikut duduk di depannya. “Jujur saya pernah usaha beberapa kali. Warnet. Online shop. Tapi lihat sendiri akhirnya aku balik kerja lagi. Masih misteri buatku usaha. Tuh.” Senyumnya otomatis dia keluarkan.
“Ah mana aku tahu juga.” Jawabku sekenanya. Tapi itu sekaligus juga jawaban jujurku. Tak ada lain. “Kalau secara teori pemasaran aku nggak pernah bikin iklan. Tempatku pun bukan di jalan yang dekat keramaian. Jadi susah juga aku menjelaskan bagaimana membuat orang tahu tentang tempat kopiku ini. Mereka datang, karena di kasih tahu temannya. Mereka sendiri yang suka foto-foto di sini. Jadi mereka sendiri yang ngasih tahu temannya kupikir. Tapi entahlah. Kamu pasti lebih tahu dari aku. Lha kamu sendiri kenapa selalu muncul pagi hari ke sini sebelum pengunjung lain datang?” Jawabku sekaligus menembak dia.
“Iya juga.” Jawabnya singkat, sambil tersenyum dan mengaduk es kopi susunya. “Tapi masak Cuma begitu saja. Pasti ada yang lainnya?” makin penasaran dia.
“Abis apa lagi? Saya sendiri juga nggak tahu.” Jawabku balik. Kembali dengan alasan sekenanya. “Aku pun heran, kopi kamu tadi lupa kubuatkan. Harusnya kamu kesel sama aku.”
“Di sini seperti di rumah sendiri kali ya.” Dia balik menjawab sekenanya. Tapi mungkin itu yang lebih spontan dan jujur dari dirinya. “Tapi memang aku suka kopinya di sini.”, kali ini aku tidak mengedit kalimat yang dia sampaikan. Tidak juga untuk propaganda iklan buat Anda pembaca tulisan ini. Kalimat semacam ini lebih suka kami kantongi sendiri erat-erat. Supaya tidak hilang.
Fatal error: Uncaught Error: [] operator not supported for strings in /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/core/helpers/post.php:56 Stack trace: #0 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/partials/content-single.php(72): layers_post_meta(586) #1 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/template.php(564): require('/home/zrrnhhuq/...') #2 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/template.php(521): load_template('/home/zrrnhhuq/...', false) #3 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/general-template.php(171): locate_template(Array, true, false) #4 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/single.php(21): get_template_part('partials/conten...', 'single') #5 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-includes/template-loader.php(89): include('/home/zrrnhhuq/...') #6 /home/zrrnhhuq/public_html/wp-blog-header.php(16): require_once('/home/zrrnhhuq/...') #7 /home/zrrnhhuq/public_html/index.php(17): require('/home/zrrnhhuq/...') #8 {main} thrown in /home/zrrnhhuq/public_html/wp-content/themes/layerswp/core/helpers/post.php on line 56